Pulau Samosir Danau Toba – Cerita Tunggal Panaluan Tongkat Sakti Suku Batak sebuah sovenir khas Batak dengan cerita menarik bernama tongkat Tunggal Panaluan yang bisa ditemukan di setiap rumah adat Batak Toba.

Filosofinya, dahulu ada raja yang memiliki anak kembar, satu lelaki satu perempuan, dimana kedua anak ini pamit ke raja ingin main ke hutan. Saat bermain di hutan, entah terbesit apa lalu mereka berhubungan badan.

Perlu diketahui masyarakat suku Batak tidak hanya melarang hubungan sedarah seperti suku lain, tetapi juga melarang hubungan semarga. Orang Batak tidak boleh menikah sesama marga apalagi sekeluarga.

Karena kedua anak raja yang masih bersaudara ini berhubungan badan, alam menjadi murka. Yang membuat mereka tersedot kedalam sebuah pohon berkayu besar.

Sang raja pun merasa khawatir karena kedua anaknya masih belum kembali sejak pagi. Padahal, sore hari telah tiba. Raja akhirnya bergegas memanggil dukun yang juga disebut Datu untuk membantu mencari mereka.

Setibanya mereka di hutan, keduanya melihat bahwa dua buah hati sang raja terperangkap di dalam sebuah pohon. mereka mencoba untuk mengeluarkan anak raja.

Namun sang Datu tidak mampu melakukannya. Sang dukun tidak sanggup mengeluarkannya bahkan si dukun ini juga ikut tersedot kedalam pohon.

Lalu dipanggil lagi 3 orang dukun, namun mereka juga tersedot. Siraja pusing, dan akhirnya memanggil dukun yang paling sakti, tapi tetap juga tidak bisa dan tersedot juga.

Akhirnya Dipotong lah pohon itu. Ditebang dan diukir berdasarkan wajah orang-orang yang tersedot ke dalam pohon itu. Oleh sebab itu tongkat ini punya motif wajah orang-orang yang tersedot kedalam pohon yang lambat laun dikenal dengan Tongkat Tunggul Panaluan dengan motif paling atas adalah sang raja.

Paket Wisata Medan, Paket Wisata Danau Toba

Versi Kisah Menarik Tongkat Sakti Suku Batak Tunggal Panaluan

Namun terdapat sebuah versi lain tentang cerita Tunggal Panuluan Jika dalam versi yang sebelumnya dikatakan bahwa anak-anak sang raja menjalin hubungan terlarang diantara mereka.

Ada versi lain mengenai certa ini menurut situs resmi Badan Pelaksana Otorita Danau Toba. Dalam kisah ini, diceritakan tentang sepasang suami istri yang bernama Datu Arak Pane atau Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak Panaluan.

Keduanya masih belum dikaruniai seorang anak. Hingga pada akhirnya setelah delapan tahun mereka menunggu, Nan Sindak Panaluanpun hamil.

Akan tetapi, selama kehamilan istrinya, Guru Hatia Bulan sering memiliki mimpi buruk. Kelahiran yang sejak lama dinantikanpun terjadi, Nan Sindak Panaluan melahirkan bayi kembar.

Anak laki-lakinya diberi nama Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring, sementara anak perempuannya diberi nama Tapi Nauasan Siboru Panaluan atau Sri Tapi Omas.

Menurut legenda Batak, kelahiran mereka jatuh pada hari yang buruk. Setelah upacara pemberian nama dilaksanakan, para tetua adat setempat meminta Guru Hatia Bulan untuk memisahkan anak-anaknya.

Hal ini bertuan untuk menghindari musibah. Namun, Guru Hatia tidak mengikuti saran tetua itu dan membesarkan keduanya dengan penuh cinta hingga dewasa. Pada akhirnya warga desa melihat anak-anak kembar itu seperti sepasang kekasih.

Pada suatu hari, kemarau datang dan menyebabkan hujan tidak turun selama hampir tiga bulan lamanya. Tanaman pun pada layu.

Sawah dan mata air juga kering. Para tetua desa berkumpul dan memanggil seorang Datu untuk mencari tahu penyebab dari semua musibah ini.

Menurut penglihatan sang Datu, penyebabnya adalah perbuatan terlarang yang dilakukan oleh dua anak kembar tersebut.

Tuduhanpun langsung dilemparkan kepada si kembar tanpa dilakukan pembicaraan lebih lanjut. Kepala desa ditemani Datu datang untuk menemui Guru Hatia Bulan di rumahnya.

Lalu mereka menjelaskan, Aji Donda dan Tapi Nauasan adalah penyebab dari kekeringan yang terjadi di desa mereka. Akhirnya, keduanya dipanggil untuk diadili.

Saat mereka ditanyai banyak pertanyaan, keduanya tidak dapat menjawab karena ketakutan. Guru Hatia Bulan pun tidak bisa membela anak-anaknya akibat perbuatan yang mereka lakukan dan menyerah pada hasil pengambilan suara yang meminta agar si kembar diusir dari desa.

Sang ayah yang hanya bisa pasrah akan kejadian ini kemudian membangun sebuah sopo (sejenis lumbung padi) untuk didiami anak-anaknya. Ayah mereka juga meninggalkan seekor anjing sebagai penjaga.

Setiap beberapa hari sekali, Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak Panaluan mengunjungi anak-anak mereka dan membawakan makanan sambil menahan kesedihan mereka.

Entah itu disebabkan karena si kembar sudah tidak lagi tinggal di desa atau bukan, kekeringan yang sebelumnya melanda desa mereka akhirnya usai. Peristiwa pohon yang melegenda Tidak jauh dari sopo tempat mereka tinggal, terdapat pohon berduri.

Meski buahnya berwarna hijau, warnanya akan berubah menjadi merah saat ia matang dan merah tua saat sangat matang. Buah ini berbentuk bulat bagai anggur, meski rasanya asam dan sedikit agak pahit.

Namun ketika buahnya sedikit ditekan, rasanya akan menjadi manis dan segar. Orang-orang menyebutnya dengan buah piu-piu tanggule.

Pada suatu hari, Tapi Nauasan meminta Aji Donda untuk memanjat pohon itu lantaran dia ingin memakan buahnya. Dia pun mengiyakan atas permintaan itu lalu memanjatnya sambil menikmati beberapa buah. Akan tetapi dia merasakan tubuhnya tiba-tiba masuk ke dalam pohon itu.

Baca juga:

Hanya kepalanya saja yang muncul di permukaan pohon. Beberapa saat kemudian Nauasan yang sudah lama menunggu untuk diambilkan buah piu-piu tanggule memanggil Aji Donda namun tidak mendapat jawaban.

Saat dia dan sang anjing penjaga mendekati pohon piu-piu itu, dia melihat tubuh Aji Donda yang terisap pohon. Saat sang lelaki tidak menjawab sedikitpun, dia juga memutuskan untuk memanjat pohon tersebut.

Namun nasib sama menimpa Nauasan dengan Aji Donda. Tubuhnya terisap pohon, hanya menyisakan kepala yang muncul di permukaan saja.

Pada saat itu Nauasan tidak sengaja menjatuhkan selempangnya saat memanjat pohon. Anjing penjaga mereka yang ikut bersamanya membawa selempang itu ke pada Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak Panaluan.

Sepasang suami istri itu bergegas menuju hutan tempat mereka tinggal saat mengetahui bahwa selempang itu milik putrinya.

Setibanya di hutan, mereka sangat kaget melihat si kembar menjadi satu dengan pohon. Guru Hatia Bulan kembali ke desa untuk mencari bantuan dari seorang Datu bernama Parmanuk Holing.

Keduanya langsung menuju ke hutan untuk menyelamatkan si kembar dengan kekuatan Datu tersebut. Akan tetapi, kekuatan Datu tidak seberapa.Dia pun ikut terisap ke dalam pohon itu.

Guru Hatia Bulanpun mencari Datu yang lainnya untuk membantu. Mulai dari Datu Boru Sibaso Bolon, Datu Mallatang Malliting, Datu Horbo Marpaung, sampai Datu Jolma So Begu, semua ikut membantu. Namun, mereka berempat juga ikut terisap ke dalam pohon itu.

Tujuh kepala kini terlihat di pohon itu. Membuat Guru Hatia Bulan menjadi gelisah. Akhirnya, dia beranjak menuju Datu Parpansa Ginjang untuk meminta bantuanya.

Tidak seperti Datu lain, dia membaca doa dan meminta sesaji dan tarian tor-tor. Saat seekor kerbau ditawari sebagai sesaji, lalu dia memotongnya, lalu menebang pohon yang menyedot 7 orang itu dan membawanya ke desa.

Guna menyeka kesedihan Nan Sindak Panaluan atas hilangnya kedua anaknya, pohon itu diukir menyerupai si kembar dan lima Datu yang mencoba untuk menyelamatkan mereka.

Terdapat juga ukiran anjing, dan hewan lain yang terhisap ke dalam pohon seperti ular dan kadal. Bagian atas pohon itu diukir menyerupai Aji Donda dan dilengkapi rambut yang dibungkus benang tiga warna, yaitu putih, hitam, dan warna merah.

Pohon yang lambat laun dikenal sebagai Tunggal Panaluan ini selalu dibawa untuk menghibur sepasang suami istri itu. Tunggal Panaluan dianggap hidup oleh mereka.

Pada akhirnya, merekapun mempersembahkan upacara tari tor-tor untuk tongkat tersebut. Lalu mereka menjadikanya sebagai tongkat sakti Tongkat Tunggal Panaluan ini memiliki panjang sekitar 150-200 meter.

Tunggal yang artinya adalah satu, sementara arti dari kata Panaluan adalah mengalahkan. Adapun, Tunggal Panaluan menggambarkan hubungan antara banua tonga, banua ginjang dan banua toru.

Mengutip dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Samosir, ketiganya dipercaya oleh masyarakat Batak Toba sebagai bagian dari alam semesta ini.

Tongkat Tunggal Panaluan dianggap masarakat Batak sebagai tongkat sakti karena roh-roh yang bersemayam di dalamnya. Saat Guru Hatia Bulan meninggal, tongkat ini dipegang oleh Datu-datu dan hanya boleh dimiliki oleh mereka saja.

Tongkat yang dipercaya sebagai tempat tinggal para leluhur dikatakan dapat memanggil hujan, menyembuhkan penyakit, mengusir wabah, memberi berkah, serta melindungi rumah dan desa dari musuh-musuh jahat.

Saat pasukan Belanda menjajah Indonesia, tongkat ini hilang. Banyak orang yang mencarinya karena percaya bahwa siapa pun yang memegangnya akan mendapat kekuatan ( Menurut Mitos suku Batak )

Nah jika ingin melihat seperti apa bentuk tongkat Tunggal Panaluan ini secara langsung kamu bisa memesan paket Wisata Medan Danau Toba di Indoland Travel Medan atau langsung menghubungi nomor admin di 0811689008 kami siap membantu perjalanan wisata Anda menjadi berkesan dan tak terlupakan.